Selasa, Desember 23, 2008

Seni Untuk Peradaban


Membuat film bagi seorang sineas tak ubahnya seorang penyair yang sedang menulis puisi, yaitu sebentuk kreativitas untuk mengutuhkan atau melengkapkan kemanusiaan dalam kesempurnaannya. Suatu upaya ideal dan imajinatif berhadapan dengan relitas keseharian yang sering jauh dari kesempurnaan. Ditangan para sineas, realitas sosio-kultural dipotret ulang untuk menemukan gambaran baru dengan symbol-simbol dan makna-makna baru.

Waktu demi waktu berlalu, zaman demi zaman terlewati. Berbagai kemajuan dalam Ilmu Pengetahuan, teknolog, menejemen, system politik dan ekonomi telah dicapai, namun sampai sekarang inidalam kenyataan sehari-hari ancaman terhadap kemanusiaan atau lebih tepatnya memudarnya nilai-nilai kemanusiaan disana-sini masih terus merebak, mencabik-cabik makna kemanusiaan itu sendiri.

Manusia seringkali begitu pongkah dan melalaikan nilai-nilai yang seharusnya disandang. Sandaran vertical berupa pesan-pesan peradaban melalui dimensi transenden pun diabaikan dan diganti dengan perilaku pragmatis, berorientasi kapitalistik dan berwawasan hedonis. Demikian pula keselarasan horizontal dengan alam semesta, kearifan lingkungan, dan keanekaragaman hayati, seringkali dilecehkan oleh ketamakan dan kerakusan atas nama kemanusiaan.

Didorong oleh perkembangan sains dan teknologi yang ditopang oleh keperkasaan kapitalisme liberal, seluruh umat manusia lantas berbondong-bondong menyongsong fajar kehidupan. Kemajuan teknologi telah merambah wilayah yang selama ini belum terbayangkan, yakni dengan penemuan Artificial Intellegence, Artificial Intellect dan bahkan Artificial Life. Dalam tafsir peradaban, melalui perkembangan teknologi itulah umat manusia dewasa ini telah sampai pada era inhumanism atau kebangkrutan akal budi.

Kegalauan terhadap realitas social, realitas politik dan realitas ekonomi. Itulah antara lain yang membuat para sineas idealis dan insane-insan film idealis lantas berkreasi.Nasionalisme yang kian memudar dan hanya menjadi jargon, dipotret ulang oleh Deddy Mizwar melalui karya film bagus ‘Naga Bonar Jadi 2’. Kegelisahan dalam bentuk lain muncul melalui film bermutu bertajuk ‘Opera Jawa’ garapan sineas handal Garin Nugroho. Itulah sekadar contoh, betapa ditengah-tengah krisis multi dimensi ini masih muncul jejak-jejak manusia Indonesia yang bermartabat, berbudaya dan beradab.

Kedua karya sineas Indonesia itu seperti puisi, perpaduan antara sajak-sajak cinta, sajak sufi dan sajak-sajak protes social. Sebuah puisi yang ingin melengkapkan kemanusiaan dan berusaha mendedahkan dambaan terhadap keutuhan kemanusiaan dalan persepektifnya masing-masing secar imajinatif dengan pengungkapan yang cerdas, unik dan indah.

Sebagai puisi, film-film karya kedua Maestro perfilman Indonesia itu seakan sedang mewaspadai kenyataan, menyerap kenyataan, menyedot dan memadatkan dalam metafor-metafor dan berbagai ungkapan dan berharap akan menciptakan suatu dunia imajinatif yang memelihara dan mengutuhkan kemanusiaan yang mungkin kelak akan menetas dalam suatu kenyataan lain di masa depan.
Kenyataan sehari-hari di masa kini yang dahsyat dengan berbagai’ungkapan dan metafora-metafora’ nyata dan tak jarang diluar jangkauan akal dan budi manusia yang wajar. Kekejaman-kekejaman yang mengerikan, perusakan lingkungan, dan skandal korupsi dalam skala sangat besar, terasa bahkan melebihi metafora-metafora dan ungkapan-ungkapan dahsyat dari bait-bait sajak maupun scene-scene film.

Dalam ketercengangan dan keterperangahan dihadapan metafora-metafora nyata itu, para sineas yang selayaknya dan diharapkan menyerap dan menyedot serta mencernakan peristiwa-peristiwa nyata itu terkadang malah sebaliknya, bisa tersedot dan terserap dalam ‘daya pukau’ dahsyat dari kenyataan-kenyataan yang ‘mengerikan’ itu. Jika itu yang terjadi, maka film-film yang muncul cenderumh hanya merupakan sekadar deskripsi datar, fotografi ataupun alih bahasa dari ‘metafora-metafora yang nyata’ itu. Dan para sineas bukannya membuat jarak renung terhadap relitas, tetapi menjadi agen yang melanjutkan realitas nyata, merupakan perpanjangan tangan dari relitas. Akibatnya bukan upaya untuk meraih keutuhan kemanusiaan, malah menjadi bagian ketercabikan kemanusiaan. Itulah tantangan untuk para sineas kita dimasa sekarang dan yang akan datang.
Baca selengkapnya